Islamedia –
Sejarah penistaan agama tak hanya bermula saat Arswendo Atmowiloto
membuat polling di Tabloid Monitor soal Tokoh Dunia yang Berpengaruh.
Juga tak berhenti pada Lia Eden. Jauh sebelum itu, terdapat nama Haji
Oemar Said(HOS) Tjokroaminoto dan Soekarno.
Tersebutlah sebuah harian bernama
“Djawi Hisworo” yang pada awal Januari 1918 memuat artikel yang berisi
penghinaan terhadap Nabi Muhammad saw. Penulisnya Djojodikoro dan
tulisan tersebut berjudul “Pertjakapan Antara Martho dan Djojo”.
Ada sebuah penggalan kalimat yang secara
jelas menghina Rasulullah saw. Berikut petikannya: “Gusti Kandjeng Nabi
Rasoel minoem AVH, minoem Opium, dan kadang soeka mengisep Opium.”
Penistaan itu membuat geram umat Islam.
H.O.S Tjokroaminoto dengan cepat membentuk organisasi bernama Tentara
Kanjeng Nabi Muhammad (TKNM) yang langsung dipimpin oleh dirinya.
TKNM mengajak rakyat Indonesia untuk
menghadiri rapat besar di Kebun Raya Surabaya, pada 6 Februari 1918.
Kegiatan ini sebagai sikap penolakan kaum muslimim terhadap penghinaan
Nabi saw.
Berapa jumlah orang yang ikut dalam aksi tersebut?
Tidak kurang dari 35.000 orang!
Tuntutannya mendesak pemerintah Hindia Belanda dan Sunan Surakarta
untuk segera mengadili Djojodikoro dan Martodarsono (pemilik surat
kabar) atas kasus penistaan Nabi saw. (Jang Oetama : Jejak Perjuangan
H.O.S Tjokroaminoto karya A.D Mulawarman).
Beberapa dekade kemudian, salah satu
murid politik Tjokroaminoto membubuhkan tandatangan bersejarah. Namanya
Soekarno. Saat menjadi orang nomor satu di Indonesia, Bung Karno
menandatangani Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS
tentang Pencegahan Penyalahgunaan/dan atau Penodaan Agama pada 27
Januari 1965.
Tjokro dan Bung Karno hanya
mengkonfirmasi bahwa kita memiliki warisan sejarah dan produk hukum
terkait penistaan agama. Dan keduanya adalah tokoh bangsa yang layak
kita teladani.
Lalu jika masih saja ada di antara kita
yang menghina para pembela Quran, tidakkah mereka belajar dari Tjokro
dan umat Islam kala itu? Mengumpulkan 35 ribu orang di zaman belum ada
handphone, facebook, twitter dan whatsapp bukanlah pekerjaan mudah.
Hanya pernyataan Aa Gym yg dapat menjelaskannya.
“Ini persoalan hati yang menggerakkan kita semua.”
Lalu jika kita masih terus-berkelit
untuk membebaskan Ahok dari kasus penistaan agama sampai harus
mengundang ulama Mesir, tidakkah kita malu pada Bung Karno yang
jauh-jauh hari sudah menyiapkan peraturan soal ini dan berisikan
penjelasan yang eksplisit?
Bergurulah kepada Tjokro dan Bung Karno…
Erwyn Kurniawan
Penulis buku: Dalam Lingkaran Kebisuan (Dari John McCain hingga Al Maidah)
FB: Erwyn Kurniawan
Twitter: @Erwyn2002
0 komentar:
Posting Komentar